Tampilkan postingan dengan label akhlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label akhlak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 November 2009

Nyanyian Anak Lembur di Jawa Barat

Yong oyong gung....
Gung goongna rame..
Menak Ki Mastanu ..
Nu Jadi Wadana.....
Naha maneh kitu....
Tukang olo-olo.....
Loba anu biruk.....
Ruket jeung kompeni..
Niat jadi pangkat....
Katon kagorengan.....
Ngantos kanjeng dalem...
Lempa lempi lempong.....
Ngadu pipi jeung nu ompong.
Waktu kecil saya sering bermain bersama teman-teman di kampung menyanyikan lagu "kaulinan barudak" di atas, tanpa mengetahui apa maksud si pembuat lagu tersebut.

Setelah diamati, saya baru dapat meraba-raba maksudnya, yaitu kurang lebih bahwa zaman dahulu ketika masih dalam masa penjajahan, terutama zaman Belanda, banyak para gegeden (menak) yang bekerjasama dengan penjajah demi untuk mendapatkan kedudukan dan harta (Loba anu biruk...ruket jeung kompeni...niat jadi pangkat..), sehingga mulailah mereka menjadi penjilat, penghianat dan pemeras rakyat (katon kagorengan...).

Itu zaman penjajahan. Lalu bagaimana dengan masa kini, di masa mengisi kemerdekaan yang untuk meraihnya harus ditebus dengan harta dan nyawa para pahlawan. Nampaknya nyanyian ini masih relevan juga, hanya mungkin dalam bentuk yang agak berbeda. Apa perbedaannya....duka teuing ah..! Pikiran we masing-masing.

Senin, 16 Maret 2009

Tiga Nasihat

Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat. Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal. Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti. Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya.
Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu! Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.
(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)

Longtail Video :